Halaman

Translate

Rabu, 17 Maret 2010

Manajemen Berbasis Sekolah

Nama : Fahim Royani
Nim : 208511414610
Prodi : S1 PTM 2008


Definisi Manajemen berbasis sekolah

Manajemen berbasis sekolah adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan pendidikan yang diletakkan pada posisi yang paling dekat yakni sekolah. (Dr.E.Mulyasa.M.Pd.) dalam bukunya yang berjudul Menjadi Kepala Sekolah Profesional.

Manajemen berbasis sekolah adalah suatu keweanangan penuh kepada sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan,mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan,mengatur serta memimpin sumber-sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah. (Dr.E.Mulyasa.M.Pd.) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Sekolah.

Manajemen berbasis sekolah dapat di definisikan sebagai suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainbilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. (Prof.Dr.Sudarwan Danim) dalam bukunya yang berjudul Visi Baru Manajemen Sekolah.

Komentar tentang definisi tersebut

Untuk memajukan suatu sekolah yang berkualitas yakni diperlukan kepala sekolah berkualitas ditambah sengan guru berkualitas. Di dalam sekolah berkualitas diperlukan manajemen yang berkualitas pula, oleh karena itu manajemen berbasis sekolah penting untuk di terapkan karena dilain sekolah dituntut untuk mengetahui keadaan lingkungan, sekolah juga di tuntut mengetahui siswanya. Menurut pendapat saya tentang pengertian Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu proses yang dikelola oleh sekolah untuk mengatur sumber daya dan mencapai tujuan dalam sekolah tersebut.

Jumat, 12 Maret 2010

KITAB USHUL

MUQADDIMAH
بسم الله الـرحمن الـرحيم
Segala puji bagi Allah SWT. Shalawat serta Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW, para keluarga dan Shahabat beliau yang senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Amma Ba’du. Sudah maklum bagi setiap insan bahwasanya pohon tidak mungkin bisa berdiri tegak tanpa adanya akar, dan bangunan rumah tidak akan berdiri kokoh tanpa ada pondasi, demikian halnya dengan Fiqih yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya Ushul fiqih. Oleh karena itu, Abu Ishaq pernah berkomentar dalam kitab Jami’ al-Bayan;
مَنْ جَهِلَ اَلْأَصْـلَ ، لَـمْ يُصْبِبِ الْفَـرْعَ أَبَدًا
Barang siapa tidak mengetahui (memahami) permasalahan pokok, maka dia tidak akan bisa memahami permasalahan cabang untuk selamanya
Akan tetapi kitab-kitab Ushul fiqih yang selama ini beredar di tengah-tengah kita, terasa sulit untuk dipahami oleh putra-putri kita, karena sebagian kitab Ushul fiqih tersebut sulit dipahami susunan bahasanya dan sebagian lagi tidak memberikan contoh-contoh atas Qa’idah-qa’idah Ushul fiqih. Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk segera menyusun sebuah kitab Ushul fiqih yang mudah dipahami dan disertai dengan contoh-contoh, karena sesungguh-nya menghafal Qa’idah-qa’idah (Ushul fiqih maupun Fiqih) tanpa disertai pengetahuan tentang contoh-contoh, tentu manfaatnya kurang sempurna dan hanya menyia-nyiakan waktu belaka.
Kami (Penulis) membagi kitab ini menjadi 3 judul, yaitu:
1)Juz 1 berjudul Mabadi’ Awwaliyyah
2)Juz 2 berjudul As-Sullam
3)Juz 3 berjudul Al-Bayan
Sedangkan Juz pertama ini akan membahas dua bahasan utama, yaitu;
a)Ushul fiqih
b)Qa’idah-qa’idah Fiqih
Kami memohon kepada Allah SWT agar berkenan menjadikan kitab ini sebagai kitab yang bermanfaat serta berkenan memberikan apa yang sudah kita cita-citakan.

Peringatan!
يُدْرِكُ اَلذَّكِيُّ بِنَظِيْرٍ وَاحِدٍ مَا لاَ يُدْرِكُهُ الْغَبِيُّ بِأَلْفِ شَاهِدٍ
Orang cerdas sudah bisa paham dengan satu contoh saja mengenai suatu hal yang tidak bisa dipahami oleh orang bodoh meski dengan 1000 contoh.




Bagian Pertama
U S H U L F I Q I H

Definisi Al-Ashlu secara bahasa adalah sesuatu yang dijadikan pijakan oleh sesuatu yang lain. Contoh: Kata ‘Ashlu asy-Syajarah’ berarti; akar pohon. Yang dimaksud dengan ‘akar pohon’ di sini adalah akar pohon yang tertancap kokoh di dalam tanah. Jadi, Ushul fiqih adalah dasar atau pijakan ilmu Fiqih.
Definisi Al-Far’u secara bahasa adalah sesuatu yang berpijak pada sesuatu yang lain. Contoh: Pohon berpijak pada akarnya, begitu juga dengan Fiqih yang berpijak pada Ushul fiqih.
Definisi Al-Ashlu secara Istilah syara’ adalah Dalil dan Qa’idah Kulliyyah (umum). Contoh:
Ashal hukum kewajiban shalat adalah Al-Qur’an. Kata ‘Ashal’ di sini bermakna; Dalil, sehingga yang dimaksud oleh pernyataan di atas adalah: Dalil yang mewajibkan shalat adalah Al-Qur’an. Allah SWT berfirman; أَقِيْـمُوْاالـصَّـلاَةَ (Dirikanlah shalat).
Halalnya daging bangkai bagi orang yang terpaksa sebenarnya bertentangan dengan hukum Ashal. Kata ‘Ashal’ di sini bermakna; Qa’idah Kulliyah. Jadi, maksud pernyataan di atas adalah: Halalnya bangkai bagi orang yang terpaksa adalah bertentangan dengan Qa’idah Kulliyyah yang menyatakan : كُلُّ مَيْتَةٍ حَرَامٌ (setiap bangkai adalah haram). Sedangkan dasar dari qa’idah ini adalah Firman Allah SWT:
إِِِنَّمَا حَـرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bangkai bagi kamu semua
Definisi Ushul fiqih adalah dalil fiqih yang bersifat global (secara garis besar). Contoh: Setiap perintah menunjukkan kewajiban; setiap larangan menunjukkan keharaman; setiap perbuatan Nabi SAW, Ijma’ dan Qiyas bisa dijadikan sebagai hujjah (argumentasi atau sumber hukum).
Definisi Fiqih secara bahasa adalah paham. Seperti perkataan; فَقِـهْـتُ كَـلاَمَكَ berarti; saya memahami perkataanmu.
Definisi Fiqih secara istilah syara’ adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Syari’at Islam yang diperoleh melalui jalan ijtihad. Contoh; Pengetahuan bahwasanya niat berwudhu’ adalah wajib, serta contoh-contoh lain yang masih terkategorikan sebagai masalah-masalah yang menjadi obyek ijtihad (Al-Masaail Al-Ijtihadiyyah). Adapun dalil tentang niat adalah Hadits Nabi Muhammad SAW:
إِنَّـمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَـةِ
Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya. (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini juga berlaku pada niat wudhu’, karena wudhu’ termasuk suatu perbuatan (amal).
Lain halnya dengan pengetahuan tentang hukum-hukum Syari’at Islam yang tidak diperoleh dengan cara ijtihad. Contoh; Pengetahuan bahwasanya shalat lima waktu adalah wajib, zina adalah haram, dan masalah-masalah lain yang sudah mempunyai kepastian hukum (Qath’iyyah). Maka pengetahuan terhadap contoh-contoh tadi, bukan termasuk ilmu Fiqih (melainkan termasuk ilmu Ushul fiqih). Berikut ini daftar beberapa istilah yang perlu diketahui:
No
Lafadz
Definisi
1
Yakin (ألعلم)
Sifat seseorang yang mampu menyingkap atau memahami suatu materi secara sempurna
2
Tidak tahu(الجهل)
Tidak mempunyai pengetahuan terhadap suatu materi
3
Prasangka (الظن)
Keyakinan pada posisi lebih unggul
4
Salah sangka (الوهم)
Keyakinan pada posisi lebih lemah
5
Ragu-ragu (ألشك)
Keyakinan pada posisi yang sama
Contoh: Ketika diajukan pertanyaan, “Apakah Zaid sedang berdiri atau tidak?”, maka jika seseorang masih ragu dalam menentukan jawaban – antara "Ya" dan "Tidak" -, maka sikap ini disebut dengan 'ragu-ragu' (ألشك). Jika dia sudah lebih condong untuk memilih pada salah satu jawaban, maka sikap ini disebut dengan 'prasangka' (الظن), dan jika dia tidak mempunyai kecondongan untuk memilih salah satu jawaban, maka sikap ini disebut 'salah sangka' (الوهم).
Adapun yang dimaksud dengan kata 'yakin' (ألعلم) di dalam istilah ilmu Fiqih adalah mencakup pengertian 'prasangka' (الظن).
Hukum-hukum
Pembagian hukum-hukum dalam syari'at Islam terbagi menjadi 9 macam; Wajib, Manduub, Mubah, Haram, Makruh, Shahih, Bathil, Rukhshah dan ‘Azimah.
No
Lafadz
Definisi
1
Wajib
Hukum yang apabila dikerjakan akan mendatangkan pahala, dan jika ditinggalkan akan mendatangkan siksa.
Contoh: Shalat lima waktu dan puasa Ramadhan
2
Mandub
Hukum yang apabila dikerjakan akan mendatangkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendatangkan siksa.
Contoh: Shalat Tahiyyatal Masjid
3
Haram
Hukum yang apabila ditinggalkan akan mendatangkan pahala, dan jika dikerjakan akan mendatangkan siksa.
Contoh: Riba dan berbuat onar
4
Makruh
Hukum yang apabila ditinggalkan akan mendatangkan pahala, dan jika dikerjakan tidak mendatangkan siksa.
Contoh: Mendahulukan anggota badan bagian kiri dan mengakhirkan anggota badan bagian kanan ketika berwudhu'
5
Mubah
Hukum yang jika ditinggalkan tidak akan mendatangkan pahala, dan jika dikerjakan tidak mendatangkan siksa.
Contoh: Tidur di siang hari
6
Shahih
Hukum yang sudah memenuhi Rukun dan Syarat yang ada
7
Bathil
Hukum yang belum memenuhi Rukun dan Syarat

Rukun
Sesuatu yang bisa mempengaruhi keabsahan suatu perbuatan, dan sesuatu ini termasuk bagian dari perbuatan tadi.
Contoh: Membasuh wajah ketika berwudhu' dan Takbiratul Ihram ketika Shalat

Syarat
Sesuatu yang bisa mempengaruhi keabsahan suatu perbuatan, dan sesuatu ini tidak termasuk bagian dari perbuatan tadi.
Contoh: Air muthlaq untuk berwudhu', dan menutup aurat untuk shalat
8
Rukhshah
Hukum yang berubah dari sulit menjadi mudah karena adanya sebab-sebab hukum tertentu.
Contoh: Musafir diperkenankan untuk tidak menjalankan puasa, meski sebenarnya dia mampu untuk berpuasa, dan kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa.
9
'Azimah
Hukum asli atau Hukum Ashal (sebelum ada perubahan).
Contoh: Kewajiban shalat lima waktu dan keharaman makan bangkai bagi selain orang yang terpaksa.



Bagian Pertama
Materi Ushul Fiqih

Pembahasan Pertama
A M A R
Definisi Amar (perintah)
Yaitu permintaan untuk melakukan sesuatu perbuatan dari atasan kepada bawahan.
Qa’idah-qa’idah di dalam Amar :
1)Makna ashal dari Amar adalah menunjukkan makna wajib, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan pada makna lainnya. Contoh; Kewajiban shalat fardhu dan zakat berdasarkan Firman Allah SWT pada Surat An-Nisaa' : 77.
            ... 
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!"
2)Makna ashal dari Amar adalah tidak menuntut adanya pengulangan, kecuali ada dalil yang menunjukkan adanya pengulangan. Contoh; Kewajiban haji dan umrah satu kali seumur hidup berdasarkan Firman Allah SWT pada Al-Baqarah : 196
     .... 
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah

3)Makna ashal dari Amar adalah tidak menuntut untuk segera dikerjakan, karena tujuan Amar adalah terlaksananya suatu perbuatan, tanpa menentukan waktu pengerjaannya, entah dilakukan pada waktu pertama maupun waktu yang kedua
4)Perintah terhadap sesuatu berarti perintah terhadap media-media perantaranya. Contoh: Adanya perintah shalat berarti menunjukkan perintah bersuci (wudhu', tayammum maupun mandi besar).
5)Perintah terhadap sesuatu berarti larangan terhadap sesuatu yang berlawanan (kontradiksi) dengannya. Contoh: Perintah bertutur kata yang baik kepada manusia berarti larangan untuk berkata buruk kepada mereka, seperti dalam QS. Al-Baqarah : 83
...        ... 
Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
6)Apabila pekerjaan yang menjadi obyek perintah sudah dikerjakan sebagaimana mustinya, maka orang yang diperintahkan ( اَلْمَأْمُرْ بِهِ ) sudah lepas dari tuntutan Amar.
Contoh: Ada orang tidak menemukan air, kemudian dia bertayammum dan menjalankan shalat, maka orang itu sudah terbebas dari tuntutan Amar. Jadi, tiada kewajiban Qadha' shalat baginya, ketika dia sudah menemukan air.

Pembahasan Kedua
N A H Y

Definisi Nahy
Yaitu permintaan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dari atasan kepada bawahan.
Qa’idah-qa’idah di dalam Nahy:
1)Makna ashal dari Nahy adalah untuk menunjukkan hukum haram, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan pada makna lainnya. Contoh: Larangan berbuat kerusakan di bumi berdasarkan Surat Al-A’raaf : 85
             
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".
2)Larangan terhadap suatu hal, berarti perintah untuk melakukan sesuatu yang menjadi kebalikannya. Contoh: Larangan memakan harta benda secara bathil berdasarkan Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah : 188, berarti perintah untuk memakan harta secara hak (sesuai tuntunan syari'at Islam)
                 
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
3)Makna ashal dari Nahy adalah menunjukkan batalnya Ibadah-ibadah yang dilakukan oleh orang yang dilarang (المنهـي عنـه). Contoh: Batalnya shalat dan puasa yang dijalani oleh wanita yang sedang haid.
4)Makna ashal dari Nahy adalah untuk menunjukkan batalnya muamalah-muamalah yang dilarang. Ketentuan ini berlaku jika memang larangan tersebut ditujukan pada akad itu sendiri. Contoh: Larangan jual beli kerikil, berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ;
نَهَى صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَـاةِ
Nabi SAW telah melarang jual beli kerikil (HR. Muslim)
Sedangkan jika larangan tersebut dituj

ukan pada faktor di luar akad, maka akadnya tidak batal. Contoh: Jual beli pada saat adzan Jum’at sudah berkumandang. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Jumu’ah : 9
                      
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Alasannya; Jual beli pada saat adzan Jum’at berkumandang merupakan bentuk penundaan untuk bepergian menunaikan shalat jum’at yang telah diwajibkan oleh Ayat di atas, sedangkan bentuk penundaan ini bisa juga berupa kegiatan jual beli atau kegiatan lain semisal; makan.

Pembahasan Ketiga
‘A M M

Definisi ‘Amm
Yaitu sesuatu yang mencakup dua hal atau lebih, tanpa ada batasan (jumlah).
Lafadz-lafadz ‘Amm
Lafadz-lafadz yang menunjukkan makna ‘Amm (umum) ada 4 macam :
1)Isim mufrod yang dima’rifatkan dengan أل. Contoh: Surat Al-‘Ashri : 2-3
        ... 
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman.
2)Isim jamak yang dima’rifatkan dengan أل. Contoh: Surat Al-Baqarah : 195
     
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

3)Huruf لا yang masuk pada isim-isim nakirah. Contoh: Surat Al-Baqarah : 48
        ... 
Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (qiyamat) yang seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.
4)Isim-isim mubham (kata benda yang belum jelas maksudnya), yaitu:
Lafadz مَنْ yang diperuntukkan untuk yang berakal. Contoh: Surat Az-Zalzalah : 7
      
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
Lafadz ما yang diperuntukkan untuk yang tidak berakal. Contoh: QS. Al-Hujuraat : 18
     
Dan Allah Maha Mengetahui apapun yang kamu kerjakan
Lafadz أي . Contoh: Surat Al-Israa’ : 110
       
Dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik)
Lafadz أين yang menunjukkan tempat. Contoh: An-Nisaa’ : 78
         
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh
Lafadz متى yang menunjukkan waktu. Contoh: (Perkataan seorang suami kepada istrinya:) “Kapanpun engkau berpergian, berarti engkau sudah saya ceraikan”.










Pembahasan Keempat
K H A S H & T A K H S H I S H

Definisi Khash
Yaitu sesuatu yang tidak mencakup dua hal atau lebih, dengan tanpa ada batasan (dalam hal jumlahnya).
Definisi Takhshish
Yaitu mengecualikan sebagian dari hal-hal yang menunjukkan makna umum.
Pembagian Takhshish
Takhshish terbagi menjadi dua : Muttashil dan Munfashil
a.Takhshish Muttashil
Takhshish yang Muttashil (langsung) mempunyai beberapa bagian, yaitu:
Pengecualian (Istitsna'). Contoh: Surat Al-‘Ashr : 1 – 3
                
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Membatasi (mengqayyidi) dengan sifat. Contoh: Surat An-Nisaa’ : 92 tentang kiffarat pembunuhan
               ... 
Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Takhshish dengan Ghayah. Contoh: Surat Al-Baqarah : 222
     ... 
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Takhshish dengan Badal. Contoh: Surat Ali Imran : 96
          ... 
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.




b.Takhshish Munfashil
Jenis-jenis Takhshish Munfashil (terpisah) adalah:
Takhshish Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Contoh: Surat Al-Baqarah : 221 yang melarang kaum mukminin untuk menikahi wanita musyrik, kemudian ditakhshish dengan Surat Al-Maaidah : 5 yang menghalalkan menikahi wanita ahli kitab.
Surat Al-Baqarah : 221
      ...
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Surat Al-Maaidah : 5
                    ...
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Takhshish Al-Qur'an dengan As-Sunnah. Contoh: Surat An-Nisaa' : 11
         ...
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat di atas juga mencakup anak laki-laki yang berstatus kafir, kemudian Ayat ini ditakhshish dengan Hadits Shahih yang melarang orang muslim untuk mewarisi dari orang kafir maupun memberi warisan kepada orang kafir. Hadits itu adalah:
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِـرَ ، وَلاَ الْكَافِرُ اَلْمُسْلِـمَ
Orang muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi dari orang muslim
Takhshish As-Sunnah dengan Al-Qur'an. Contoh: Hadits shahih Bukhari-Muslim :
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَـلاَةَ أَحَـدِكُـمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّــاءَ
Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antara kalian yang sedang dalam keadaan berhadats, kecuali dia berwudhu' (terlebih dulu)
Hadits tersebut ditakhshish dengan Surat An-Nisaa' : 43
                              
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

Takhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah. Contoh: Hadits shahih Bukhari-Muslim:
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَـاءُ اَلْعُشْـرُ
Zakat tanaman yang diari oleh air hujan adalah sebanyak 1/10
Hadits di atas ditakhsish dengan Hadits Shahih Bukhari-Muslim lain yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَـا دُوْنَ خَمْسَـةِ أَوْسُقٍ صَدَقَـةٌ
Tiada kewajiban zakat terhadap tanaman yang kurang dari 5 Ausaq
Takhshish Al-Qur’an dengan Qiyas. Contoh: An-Nuur : 2
         ...
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.
Kemudian Ayat ini ditakhshish dengan Surat An-Nisaa’ : 25 yang menyatakan bahwasanya dera bagi budak wanita (budak Amat) adalah setengah dari dera orang merdeka yang berjumlah 100 kali dera. Jadi, budak Amat didera 50 kali.
             .. 
Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
Selanjutnya, Budak pria diqiyaskan dengan budak wanita, sehingga budak pria yang melakukan zina akan didera 50 kali.
Takhshish Hadits dengan Qiyas.
Rasulullah SAW bersabda:
لِيْ اَلْـوَاجِدُ يَحِلُّ عِرْضُـهُ وَ عُقُوْبَتُـهُ
Menurutku, orang yang menunda-nunda pembayaran hutang (padahal dia mampu), maka halal (untuk menghina) harga diri orang itu dan menyiksanya. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits ini berlaku pada selain hubungan hutang-piutang antara orang tua dan anaknya. Sedangkan jika berhubungan dengan hutang-piutang antara orang tua dan anak, maka tidak halal bagi seorang anak untuk merendahkan harga diri orang tuanya, apalagi menyiksanya. Kebijakan ini diqiyaskan dengan larangan bertutur kata ‘uff’ kepada kedua orang tua sebagaimana yang telah dilansir dalam Surat Al-Israa’ : 23. Dan Qiyas di sini termasuk jenis Qiyas Aulawi.
                 
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.




Pembahasan Kelima
N A S A K H

Definisi Nasakh
Definisi Nasakh menurut bahasa adalah menghilangkan atau menghapus. Definisi ini berdasarkan pernyataan: “Matahari telah menghilangkan (menasakh) bayang-bayang melalui sinarnya”. Menurut pendapat lain, definisi Nasakh adalah pindah. Definisi ini berdasarkan perkataan ulama’: “Saya memindahkan (menasakh) isi buku ini kepada buku lain”.
Definisi Nasakh secara Syara’ adalah: Menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang lebih akhir.
Menurut sebagian ulama’, Nasakh terbagi menjadi 5 bagian:
Menghapus Tulisan (nasakh rasm) & Menetapkan Hukum
Contoh: Hadits yang berbunyi:
اَلشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إذَا زَنَيـَا فَارْجُمُـوْهُمَا اَلْبَتَّــةَ
Lelaki tua dan wanita tua yang melakukan zina harus diranjam.
Umar RA berkata: “Kami telah membaca Hadits di atas”. Imam Syafi’i RA dan Perawi lain meriwayatkan Hadits berikut ini:
وَقَـدْ رَجَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّـمَ اَلْمُحْصَنَيْنِ
Sungguh Rasulullah SAW telah menghukum ranjam kepada dua orang yang berzina muhshan.
(HR. Muttafaq ‘Alaih).
Jadi, yang dimaksud dengan lafadz الشيخ والشيخة pada Hadits pertama adalah dua orang yang berzina muhshan, sebagaimana keterangan pada Hadits kedua.
Menasakh Hukum dan Menetapkan Tulisan
Contoh: Al-Baqarah : 240, di nasakh dengan Al-Baqarah : 234
Al-Baqarah : 240
             ...
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Al-Baqarah : 234
           ... 
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Nasakh Hukum & Tulisan Sekaligus
Contoh: Hadits Imam Muslim dari riwayat ‘Aisyah RA :
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَشَرُ رَضَعَـاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَـرِّمْنَ
Pemberian air susu sebanyak sepuluh kali yang sudah terbukti, menyebabkan hubungan mahram.
Kemudian Hadits ini dinasakh dengan Hadits lain yang menyebutkan bahwasanya pemberian air susu sebanyak 5 kali, sudah bisa menyebabkan hubungan mahram.
Sebenarnya nasakh Al-Qur’an dan Al-Qur’an juga diperbolehkan di dalam syari’at Islam. Contoh: Dua Ayat di atas yang menerangkan tentang masa iddah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya.
Nasakh Hadits dengan Al-Qur’an
Contoh: Kewajiban untuk shalat menghadap qiblat di Baitul Muqaddas sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits Fi’liyyah yang terdapat di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yaitu bahwasanya Rasulullah SAW menghadap ke Baitul Muqaddas ketika menunaikan shalat, dalam kurun waktu 16 bulan. Kemudian Hadits ini dinasakh oleh Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah : 144
      ... 
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram
Nasakh Hadits dengan Hadits.
Contoh: Hadits tentang ziarah kubur.
كُنْتُ نَهَيْتُـكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقَبْرِ فَـزُوْرُهَـا
Dulu saya telah mencegah kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah ke kubur
Sebagian Ulama’ berpendapat: Al-Qur’an bisa dinasakh oleh Hadits. Contoh: Surat Al-Baqarah : 180
                 
Diwajibkan atas kamu, jika seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak & karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Selanjutnya Ayat di atas dinasakh oleh Hadits Rasulullah SAW:
لاَ وَصِيَّـةَ لِـوَارِثٍ
Tiada washiat bagi ahli waris








Pembahasan Keenam
M U J M A L

1.MUJMAL
Mujmal adalah sesuatu yang masih membutuhkan penjelasan.
Contoh: Lafadz قـرء pada Surat Al-Baqarah : 228
      ...
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru'.
Lafadz قرء ini mempunyai dua pengertian, yaitu haidh dan suci.

2.BAYAN
Definisi Bayan adalah mengeluarkan (menjelaskan) sesuatu dari yang semula sulit dipaham, kemudian menjadi jelas maksudnya.
Bayan terklasifikasi menjadi beberapa bagian :
Bayan dengan perkataan
Contoh : Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah : 196.
               ...
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Bayan dengan perbuatan
Contoh: Penjelasan Rasulullah SAW tentang tata cara melaksanakan shalat, dll.
Bayan dengan menggunakan tulisan
Contoh: Penjelasan tentang ukuran-ukuran zakat dan ukuran diyat (denda) dalam masalah melukai anggota badan orang lain. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menjelaskan dua hal tersebut dalam tulisan-tulisan beliau yang sudah masyhur.
Bayan dengan Isyarah
Contoh: Sabda Nabi SAW :
اَلشَّـهْرُ هَكَذَا هَكَذَا هَكَذَا ، ( يَعْنِي ثَـلاَثِيْنَ يَـوْمًا )
Satu bulan itu adalah begini, begini, dan begini. Maksud beliau adalah 30 hari.
Kemudian beliau berisyarah dengan menggunakan jari-jemari beliau sebanyak tiga kali, dan beliau menundukkan jari jempolnya pada saat isyarah yang ke-3. Sehingga isyarah Nabi SAW tersebut menunjukkan bahwasanya satu bulan terkadang berjumlah 29 hari.






Pembahasan Ketujuh
M U T H L A Q & M U Q A Y Y A D

Definisi Muthlaq & Muqayyad
Definisi Muthlaq adalah suatu perkara yang menunjukkan suatu perkara tertentu tanpa dibatasi jumlahnya.
Definisi Muqayyad adalah suatu perkara yang menunjukkan suatu perkara tertentu dengan dibatasi jumlahnya
Ketahuilah bahwasanya khitthab (seruan) yang berbentuk Muthlaq, berarti khitthab itu akan senantiasa tetap berada pada kemutlakannya, dan khitthab (seruan) yang berbentuk Muqayyad, juga akan senantiasa tetap berada pada kemuqayyadannya. Sedangkan khitthab yang berbentuk Muthlaq pada satu riwayat, dan berbentuk Muqayyad pada riwayat lain, maka lafadz Muthlaq tersebut diarahkan posisinya menjadi lafadz Muqayyad. Contoh: Penyebutan kata “budak” (رقبة) diqayyidi dengan sifat iman pada satu tempat, semisal pada masalah kafarat pembunuhan pada Surat An-Nisaa’ : 92
               ... 
Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Lalu ada lagi lafadz “budak” (رقبة) yang berbentuk Muthlaq (tanpa ada tambahan sifat) sebagaimana yang tertera dalam Surat Al-Mujadilah : 3 yang membahas tentang kafarat sumpah dzihar.
               ... 
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.












Pembahasan Kedelapan
M A N T H U Q & M A F H U M

Definisi Manthuq & Mafhum
Definisi Manthuq adalah makna tersurat dari suatu lafadz.
Definisi Mafhum adalah makna tersirat dari suatu lafadz.
Pembagian Manthuq
Manthuq terbagi menjadi 2 kategori:
1.Manthuq yang Tidak Menerima Penakwilan
Manthuq bagian pertama ini disebut juga dengan ‘Nash’.
Contoh : Surat Al-Baqarah : 196
               ...
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu Telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
2.Manthuq yang Menerima Penakwilan
Manthuq jenis ini disebut dengan ‘Dzahir’
Contoh: Surat Adz-Dzariyat : 47.
     
Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa
Makna lahir (Manthuq) dari Ayat ini adalah lafadz أيد , yaitu bentuk jamak dari lafadz يد yang bermakna: “tangan”. Namun hal itu mustahil bagi Allah SWT, sehingga lafadz أيـد pada Ayat tersebut diarahkan pada makna “kekuatan/kekuasaan Allah SWT”.
Pembagian Mafhum
Mafhum terkategorikan dalam 2 bagian:
1.Mafhum Muwafaqat
Yaitu Makna yang tersirat sesuai dengan makna tersurat (manthuq). Contoh:
Larangan memukul kedua orang tua berdasarkan pemahaman pada Surat Al-Israa’ : 23.
                 
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Larangan membakar harta anak yatim berdasarkan pemahaman pada Surat An-Nisaa’ : 10
              
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

2.Mafhum Mukhalafah
Yaitu Makna tersirat bertentangan dengan makna yang tersurat. Contoh:
Tidak adanya kewajiban zakat terhadap binatang yang dipelihara menggunakan biaya sendiri. Hukum ini berdasarkan pemahaman pada Sabda Rasulullah SAW :
فِيْ سَـائِمَةِ الْـغَنَمِ زَكَاةٌ
Di dalam kambing yang digembalakan terdapat kewajiban zakat (HR. Asy- Syafi’i)
Tidak adanya kewajiban menunaikan haji pada selain bulan-bulan yang sudah diketahui (Syawal, Dzulhijjah & Dzulqa’dah) Berdasarkan pemahaman pada Surat Al-Baqarah : 197
    ... 
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi
Diperkenankan praktek jual beli pada hari jum’at jika muadzin belum mengumandangkan adzan. Ketentuan ini berdasarkan pemahaman pda Surat Al-Jumu’ah : 9
                      
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Pembahasan Kesembilan
PERBUATAN NABI MUHAMMAD SAW

Seluruh perbuatan Nabi Muhammad SAW tidak jauh dari tujuan untuk ibadah, taat (kepada Allah SWT), atau tidak sama sekali. Apabila perbuatan Rasulullah SAW ditujukan untuk maksud ibadah dan taat (kepada Allah SWT), kemudian ada dalil yang mengkhususkan perbuatan tersebut untuk beliau sendiri, berarti perbuatan tersebut merupakan kekhususan bagi Rasulullah SAW sendiri, tidak bagi yang lain. Contoh: Menikahi wanita lebih dari 4 orang. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa’ : 3
                ... 
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Ibnu ‘Umar RA berkata : “Ghailan masuk Islam, sedangkan dia mempunyai 10 orang istri (yang dinikahi) pada masa jahiliyyah, dan istri-istrinya tersebut ikut masuk Islam bersama Ghailan, kemudian Rasulullah SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih 4 orang di antara istri-istrinya tersebut. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
Apabila perbuatan Rasulullah SAW tidak disertai dalil yang menunjukkan kekhususan bagi beliau seorang, berarti perbuatan itu boleh dilakukan oleh umat beliau. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab : 21
                 
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Oleh karena itu, para ulama’ berkomentar:
“Hukum ashal dalam perbuatan-perbuatan Nabi SAW adalah (kesunahan untuk) mengikuti atau menirunya, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dikhusukan untuk baliau seorang”.

Pembahasan Kesepuluh
KETETAPAN (TAQIR) NABI MUHAMMAD SAW
SEBAGAI PEMBAWA SYARI’AT

Penetapan (iqrar/taqrir) Nabi SAW terhadap perkataan seseorang, status hukumnya sama dengan sabda beliau sendiri. Penetapan (iqrar/taqrir) Nabi SAW terhadap perbuatan seseorang, status hukumnya sama dengan perbuatan beliau sendiri, dikarenakan Nabi Muhammad SAW adalah ma’shum (terjaga dari dosa-dosa) yang tidak mungkin menetapkan suatu kemungkaran dari orang lain.
Contoh: Penetapan Nabi SAW terhadap perkataan Abu Bakar RA yang menyatakan bahwasanya harta rampasan perang milik orang (kafir) yang terbunuh, adalah diserahkan kepada orang (muslim) yang membunuhnya. Begitu juga dengan penetapan Nabi SAW terhadap perbuatan Khalid bin Walid RA yang makan biawak (binatang dhabb). HR. Bukhari – Muslim.
Sedangkan perbuatan maupun perkataan yang dilakukan ketika Rasulullah SAW tidak sedang berada di tempat kejadian, akan tetapi kemudian beliau mengetahuinya dan tidak mengingkari kejadian tersebut, maka hukum kejadian tadi sama dengan perbuatan maupun perkataan yang dilakukan di hadapan (di majlis) Rasulullah SAW.
Contoh: Rasulullah SAW mengetahui sumpahnya Abu Bakar RA yang bersumpah tidak akan makan makanan apapun pada saat beliau sedang marah. Kemudian Abu Bakar RA melanggar sumpahnya dan mau makan, karena memandang bahwasanya makan adalah lebih baik bagi beliau, meskipun hal itu berarti telah melanggar sumpah. HR. Bukhari
Dari cerita Abu Bakar RA di atas, bisa kita ambil tauladan bahwasanya melanggar sumpah itu diperkenankan, bahkan disunnahkan jika hal itu memang lebih baik adanya.





Pembahasan Kesebelas
I J M A’
Definisi Ijma’
Definisi secara bahasa berarti kesepakatan atau aklamasi.
Definisi Ijma’ secara istilah syara’ berarti kesepakatan umat Nabi Muhammad SAW sesudah wafatnya beliau, pada suatu masa tertentu mengenai suatu perkara.
Ijma’ menurut jumhur ulama’ bisa dijadikan sebagai hujjah hukum, berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu Umar RA yang meriwayatkan bahwasa Nabi SAW bersabda:
لاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلَى الضَّـلاَلَة ، وَيَـدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَـةِ
Umatku tidak akan sepakat pada kesesatan, dan Rahmat Allah (melingkupi) golongan (umatku)
Ijma’ bisa terjadi melalui perkataan maupun perbuatan para ulama’. Ijma’ juga bisa terealisasikan melalui perkataan sebagian ulama’ dan perbuatan sebagian ulama’ yang lain, kemudian perkataan dan perbuatan tersebut menyebar, sedangkan golongan ulama’ selain mereka tidak berkomentar apapun terhadap hal tersebut. Ijma’ jenis ini disebut dengan Ijma’ Sukuty.
Contoh: Para ulama’ sudah berijma’ dalam masalah batalnya wudhu’ disebabkan perkara yang biasa keluar dari dua jalan – qubul & dubur –, yaitu buang air kecil dan buang air besar.
Ketahuilah!, sesungguhnya Imam Syafi’i RA memberikan suatu dalil untuk memperkuat kehujjahan Qiyas dan Hadits Ahad, berupa keterangan bahwasanya sebagian Shahabat RA telah melakukan Qiyas, sedangkan Shahabat RA yang lain tidak menampakkan rasa ingkar, kemudian kejadian ini disebut dengan Ijma’ Sukuty.

Pembahasan Kedua belas
Q I Y A S
Definisi Qiyas
Qiyas merupakan hujjah (argument atau sumber hukum) dalam hukum syara’. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hasyr : 2
   
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Definisi Qiyas secara bahasa adalah mengukur atau membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan di antara keduanya. Contoh: Saya mengukur (menqiyaskan) bajuku dengan baju perang.
Definisi Qiyas secara syara’ adalah mengembalikan furu’ pada ashal dikarenakan ada illat yang membuat keduanya mempunyai hukum yang sama. Contoh: menqiyaskan beras dengan gandum dalam masalah riba, dikarenakan keduanya sama-sama merupakan makanan pokok.
Rukun Qiyas ada 4 macam :
1.Ashal
2.Furu’
3.Hukum Ashal
4.‘Illat pada hukum Ashal
Qiyas terbagi menjadi 3 macam :
1.Qiyas ‘Illat
Yaitu keberadaan ‘illat dalam qiyas ini telah menetapkan suatu hukum.
Contoh : Mengqiyaskan tindakan pemukulan kepada kedua orang tua dengan tindakan mengucapkan kata-kata ‘ahh’ kepada mereka berdua dalam hal sama-sama haram, dengan ‘illat menyakiti.

2.Qiyas Dilalah
Yaitu keberadaan ‘illat dalam qiyas ini telah menunjukkan suatu hukum, dan bukan menetapkan hukum.
Contoh: Qiyas tantang harta milik anak kecil dengan harta milik orang dewasa dalam masalah kewajiban zakat, karena keduanya sama-sama sebagai harta milik yang sempurna.
Menurut pendapat Imam Hanafi RA, tiada kewajiban zakat terhadap harta milik anak kecil. Beliau mengqiyaskan masalah ini dengan masalah haji yang hanya diwajibkan kepada orang dewasa, dan tidak wajib bagi anak kecil.

3.Qiyas Syibh
Yaitu menyamakan Furu’ yang mempunyai kesamaan dengan dua Ashl, dengan cara memilih Ashl yang paling mirip dengan Furu’.
Contoh: Budak yang dibunuh. Ketika menentukan hukuman bagi si pembunuh, status budak di sini masih mengambang. Apakah dia termasuk orang merdeka – dikarenakan dia adalah manusia – sehingga si pembunuh wajib diqishash, atau budak tersebut termasuk kategori binatang – dikarenakan budak termasuk harta milik seseorang – sehingga si pembunuh wajib memberikan ganti rugi kepada si pemilik budak tadi. Setelah itu diketahui bahwasanya budak lebih banyak memiliki kesamaan sebagai harta benda dari pada sebagai orang merdeka. Alasannya, sesungguhnya budak bisa dibeli, diwariskan, diwaqafkan, dibuat ganti rugi, dsb.

Pembahasan Kedua belas
IJTIHAD, ITTIBA’ DAN TAQLID

Definisi Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid
Definisi ijtihad adalah mengerahkan segala daya upaya untuk mengetahui hukum syara’ dengan cara melakukan istinbath (penggalian hukum) dari Al-Qur’an dan Hadits. Orang yang berijtihad disebut dengan Mujtahid.
Definisi Ittiba’ adalah menerima perkataan seseorang dan mengetahui sumber pengambilannya. Orang yang ittiba’ disebut dengan Muttabi’.
Definisi Taqlid adalah menerima perkataan seseorang, akan tetapi tidak mengetahui sumber pengambilannya. Orang yang taqlid disebut dengan Muqallid.



Jadi, ijtihad dan ittiba’ dalam agama (Islam) merupakan sesuatu yang dianjurkan, sedangkan taqlid dianggap tercela. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-‘Ankabut : 69
          
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَحَكَمَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ . رواه البخاري
Apabila seorang hakim menghukumi berdasarkan ijtihadnya sendiri, kemudian (hasil ijtihadnya) benar, maka dia memperoleh dua pahala. Sedangkan jika dia menghukumi (berdasarkan ijtihadnya), kemudian (hasil ijtihadnya) salah, maka dia memperoleh satu pahala saja.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-A’raaf : 3
               
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maaidah : 104
                         
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.

Allah SWT berfirman dalam Surat Az-Zukhruuf : 22
           
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".





Bagian Kedua
QAWA’IDUL F I Q I H
Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّـمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَـاتِ ، وَإِنَّـمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَـا نَوَى . رواه البخاري
Sesungguhnya setiap perbuatan adalah tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya masing-masing individu akan memperoleh apa yang dia niatkan. (HR. Bukhari)

Materi Qawa-idul Fiqhiyyah
Qa’idah Ke-1
أَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصَدِهَا
Setiap Perkara Tergantung Pada Niatnya
Contoh:
Di dalam wudhu’ terdapat kewajiban untuk niat. Demikian juga di dalam mandi besar, shalat dan puasa
Seseorang melakukan perbuatan yang sebenarnya mubah, akan tetapi dia berkeyakinan bahwasanya perbuatan yang sedang dia lakukan tadi adalah tidak halal baginya. Semisal; orang yang berhubungan intim dengan istrinya, akan tetapi dia berkeyakinan bahwa wanita yang dia gauli itu adalah wanita lain (bukan istrinya), dan ternyata wanita itu adalah istrinya sendiri, maka hukumnya adalah haram
Jika seseorang makan dan minum dengan diniati untuk memperoleh energi demi menunaikan ibadah, maka dia akan memperoleh pahala. Sedangkan jika tidak berniat apapun, maka tidak ada pahala baginya.
Orang yang memeras anggur hukumnya tergantung pada tujuannya, apakah dia bertujuan untuk membuat cuka atau membuat khamr (minuman keras)
Tidak bertegur-sapa atau nyatru (dengan orang tertentu) selama 3 hari adalah haram jika dia memang berniat demikian, namun jika tidak berniat nyatru, maka hukumnya tidak haram
Wanita yang tidak memakai wewangian dan perhiasan selama 3 hari dengan niat sebagai bentuk bela sungkawa atas kematian orang lain (bukan suaminya), maka perbuatan itu adalah haram. Sedangkan jika dia tidak mempunyai maksud seperti itu, maka hukumnya tidak haram.
Si pemiutang (orang yang menghutangi) mengambil harta si penghutang. Jika si pemiutang bermaksud bahwa uang yang diambil itu sebagai pelunasan hutang, maka dia tidak dihukum potong tangan. Sedangkan jika si pemiutang memang berniat untuk mencuri, maka dia terkena hukum potong tangan.
Suami menceraikan istrinya dengan kata-kata kinayah (majaz), semisal; “Engkau adalah wanita yang kesepian (خالية)” . Apabila si suami memang bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah thalaq. Sedangkan jika si suami tidak bermaksud demikian, berarti tidak terjadi thalaq.

Qa’idah Ke-2
مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ اَلتَّعْيِيْنُ، فَالْخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ
Suatu Amalan Yang Disyaratkan Adanya Penentuan Niat Di Dalamnya, Maka Kesalahan Di Dalam Menentukan Niat Bisa Membatal Amalan Tersebut

Contoh:
Salah niat di dalam shalat zhuhur dengan menggunakan niat shalat ashar, atau sebaliknya. Maksudnya; bila seseorang shalat zhuhur dengan niat shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
Tersalah di dalam menentukan kifarat (sumpah) zhihar dengan menggunakan kiffarat pembunuhan
Salah niat di dalam shalat rawatib zhuhur dengan menggunakan niat shalat rawatib ashar
Salah niat di dalam shalat ‘Idul Fitri dengan menggunakan niat shalat ‘Idul Adha, atau sebaliknya.
Salah niat di dalam shalat dua roka’at Ihram dengan menggunakan niat shalat dua roka’at Thawaf, atau sebaliknya.
Salah niat di dalam puasa ‘Arafah dengan menggunakan niat puasa ‘Asyuraa’, atau sebaliknya.

Qa’idah Ke-3
مَا يُشْتَرَطُ اَلتَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً، إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ
Suatu Amalan Yang Disyaratkan Adanya Penentuan Niat Di Dalamnya Secara Garis Besar, Tidak Secara Terperinci. Jika Seseorang Menentukan Niat, Kemudian Dia Salah Niat, Maka Bisa Membatalkan Amalan Itu

Contoh:
Seseorang niat makmum kepada Zaid, ternyata orang yang menjadi imam itu bernama Umar, maka makmumnya orang itu tidak sah, karena dia tidak niat makmum kepada Umar. Sebab lainnya adalah dikarenakan dia niat makmum kepada Zaid, padahal orang yang dia makmumi itu bernama Umar. Di dalam shalat jama’ah tidak disyaratkan menyebutkan (nama) imam, akan tetapi yang disyaratkan hanyalah niat jama’ah.
Seseorang niat menshalati Bakar, ternyata si jenazah itu bernama Khalid, atau niat menshalati jenazah laki-laki, padahal jenazah itu adalah wanita, begitu juga sebaliknya, maka shalat jenazahnya tidak sah. Di dalam shalat jenazah tidak disyaratkan menentukan (menyebutkan) nama si jenazah, akan tetapi cukup dengan niat menshalati jenazah saja
Barang siapa menshalati jenazah-jenazah (yang banyak), maka dia tidak diwajibkan untuk menentukan jumlah mereka di dalam niat shalat. Jika dia berniat menshalati 10 jenazah, ternyata jumlah jenazah-jenazah tersebut lebih dari 10 orang, maka orang itu harus mengulangi shalat jenazahnya secara keseluruhan, karena di antara jenaza-jenazah tersebut terdapat beberapa jenazah yang ‘dihukumi’ belum dishalati dan tidak jelas siapa jenazah yang dimaksud
Tidak disyaratkan menentukan jumlah roka’at, apabila seseorang niat shalat zhuhur dengan menyebutkan 5 atau 3 roka’at, maka shalatnya tidak sah
Seseorang berniat mengeluarkan zakat untuk harta yang berada di luar rumahnya (harta ghaib), padahal harta tersebut rusak (tidak ada), maka zakatnya tidak bisa dialihkan sebagai zakat untuk harta yang berada di rumahnya (harta hadhir).


Qa’idah Ke-4
مَا لاَ يُشْتَرَطُ اَلتَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلاَ تَفْصِيْلاً، إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ
Suatu Amalan Yang Tidak Menyaratkan Adanya Suatu Ketentuan Secara Garis Besar Maupun Secara Terperinci. Jika Seseorang Menentukan Niat, Kemudian Dia Salah Niat, Maka Tetap Tidak Membatalkan Amalan Tadi

Contoh:
Salah dalam menentukan tempat shalat. Misalnya; seseorang niat shalat zhuhur di Mesir, padahal dia sedang berada di Makkah, maka shalatnya tidak batal, karena niatnya sudah dianggap cukup. Sedangkan penyebutan tempat shalat dalam niat orang tadi, tidak termasuk kategori niat, baik ditinjau secara garis besar maupun secara terperinci
Kesalahan dalam menentukan waktu shalat, semisal; seseorang yang niat shalat ashar pada hari kamis, padahal saat itu adalah hari jum’at, maka shalatnya tetap tidak batal
Kesalahan Imam dalam menentukan makmum yang berada di belakangnya, semisal; seorang imam niat menjadi imam bagi Zaid, padahal orang yang makmum di belakangnya adalah Umar, maka shalatnya tidak batal, karena seorang imam tidak disyaratkan untuk menyebutkan nama makmumnya serta tidak disyaratkan untuk niat menjadi imam.

Qa’idah Ke-5
مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَةِ اللاَّفِظِ
Maksud Suatu Pernyataan Dikembalikan Pada Maksud Orang Yang Berbicara (Si Mutakallim)

Contoh:
Jikalau seseorang mempunyai istri yang bernama Thaliq (wanita yang diceraikan) atau Hurroh (wanita yang dimerdekakan), kemudian si suami berkata; “Wahai Thaliq!”, maka apabila dia bermaksud untuk menceraikan istrinya, maka jatuhlah thalaq pada sang istri. Atau dia berkata pada budaknya; “Wahai Hurroh”, maka apabila dia bermaksud untuk memerdekakan budaknya, maka si budak menjadi merdeka pada saat itu juga. Sedangkan jika pernyataan-pernyataan tersebut hanya sekedar memanggil saja, maka tidak jatuh thalaq pada sang istri dan si budak juga tidak jadi merdeka
Apabila seseorang mengucapkan kata-kata thalaq sebanyak 3 kali tanpa kata sambung (huruf ‘athaf), maka jika pernyataan itu dimaksudkan sebagai thalaq tiga, maka jatuhlah thalaq tiga. Sedangkan jika pernyataan itu hanya dimaksudkan sebagai pengukuhan (taukid) semata, maka hanya jatuh thalaq satu.
Apabila seseorang melafalkan Ayat Al-Qur'an dengan niat sekedar membaca, maka hukumnya jelas tidak membatalkan shalat. Sedangkan jika pelafalan Ayat Al-Qur'an dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada orang lain, maka shalatnya menjadi batal. Sedangkan jika berniat membaca Ayat Al-Qur'an sekaligus niat memberi pemahaman kepada orang lain, maka shalatnya tidak batal. Sedangkan jika dia memutlakkan niat, maka menurut pendapat yang Ashah, shalatnya menjadi batal. Contoh: Melafalkan Al-Hijr : 46 atau Surat Maryam : 12
   
(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman
يَايَحْيَا خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ
Hai Yahya! Ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.
Apabila seseorang niat dan mengiringinya dengan kalimat إِنْ شَاءَ اللهُ, maka niatnya menjadi batal jika lafadz itu dimaksudkan sebagai Ta’liq (penggantungan niat), sedangkan jika lafadz itu dimaksudkan sekedar untuk mencari barokah, maka niatnya tetap sah. Sedangkan jika dia memutlakkan niatnya, maka menurut pendapat yang Ashah, niatnya menjadi batal.

Rasulullah SAW bersabda:
إذَا شَكَّ أَحَـدُكُمْ فِيْ صَلاَتِـهِ فَلَمْ يَدْرِ أَصَلَّى ثَـلاَثًا أَمْ رَابِعًـا، فَلْيَطْـرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبِنْ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ . رواه مسلم
“Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu mengenai (jumlah rokaat) dalam shalatnya, dia tidak mengetahui apakah dia berada dalam roka’at ke-3 atau ke-4, maka hendaklah dia menyingkirkan keragu-raguan itu dan meneruskan shalatnya sesuai dengan (jumlah roka'at) yang dia yakini". (HR. Muslim)

Qa’idah Ke-6
اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Oleh Keragu-Raguan
Contoh:
Barang siapa ragu-ragu apakah sudah shalat sebanyak 3 roka’at atau 4 roka’at, maka hendaklah dia meneruskan shalatnya pada roka’at ke-3, karena memang roka’at itulah yang menjadi keyakinannnya (karena disebut lebih awal)
Barang siapa yakin dalam keadaan suci, dan ragu-ragu sedang berhadats, maka orang itu dihukumi suci
Barang siapa yakin dalam keadaan berhadats, dan ragu-ragu dalam keadaan suci, maka orang itu dihukumi berhadats
Selain qo'idah di atas, sebenarnya ada lagi qo'idah yang mirip dengan qo'idah ke-6 ini, yaitu
إنَ مَا ثَبَتَ بِيَقيْنٍ لاَ يَرْتَفِعُ إِلاَّ بِيَقيْنٍ
Sesungguhnya sesuatu yang ditetapkan dengan keyakinan, tidak bisa dihilangkan selain dengan keyakinan pula



Qa’idah Ke-7
أَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Menurut Hukum Ashal Adalah Tetapnya Berlakunya Sesuatu Yang Sudah Terjadi Dan Mengabaikan Peristiwa Yang (Sedang atau Akan) Terjadi

Contoh:
Orang yang makan sahur di penghujung malam, dan dia meragukan terbitnya fajar, maka puasanya dianggap sah, karena menurut hukum ashal adalah masih tetapnya waktu malam
Seseorang berbuka puasa di penghujung siang dengan tanpa perhitungan (ijtihad), dan dia ragu apakah matahari sudah tenggelam atau belum, maka puasa orang itu dihukumi batal, karena menurut hukum ashal adalah tetapnya siang
Dua orang suami-istri sudah menjalani rumah tangga mereka dalam beberapa waktu, kemudian si istri mengaku bahwa dia tidak diberi pakaian dan nafkah (oleh suaminya), maka perkataan istri ini dibenarkan, karena pakaian dan nafkah merupakan tanggung-jawab suami, dan menurut hukum ashal, si suami dianggap tidak memberikan pakaian maupun nafkah kepada istrinya
Dua orang suami istri bersengketa perihal ‘kepatuhan istri kepada suami (tamkiin)’, maka pernyataan yang dibenarkan adalah pernyataan si suami, karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya kepatuhan istri pada si suami. Oleh karena itu, si suami tidak wajib memberi nafkah, karena kewajiban memberi nafkah bergantung pada adanya kepatuhan dari pihak istri
Seorang pembeli membeli air, kemudian dia mengaku kalau air itu terkena najis, maka pernyataan yang dibenarkan adalah pernyataan si penjual, karena menurut hukum ashal adalah pada dasarnya air itu suci
Seseorang ragu-ragu akan kesucian air yang berubah (warna/rasa/baunya), apakah air itu termasuk kategori air yang banyak (dua qullah) atau air yang sedikit (kurang dari dua qullah), maka menurut hukum ashal adalah tetapnya kesucian air itu

Qa’idah Ke-8
أَلْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Menurut Hukum Ashal Adalah (Setiap Orang) Bebas Dari Tanggung Jawab

Contoh:
Seorang terdakwa disuruh untuk bersumpah, kemudian dia berbohong, maka si terdakwa itu tidak bisa dijatuhi hukuman jika mengacu pada pernyataan si terdakwa saja, karena menurut hukum ashal adalah terbebasnya si terdakwa dari segala tanggung jawab. Oleh karena itu, si pendakwa harus memberikan kesaksian maupun bukti lain.
Seseorang berkata: "saya memberikan barang ini kepadamu, dan kamu harus menggantinya di lain hari". Pada saat si penerima barang itu ditagih, dia mengingkari pernyataan si pemberi yang menyatakan bahwa pemberian itu harus diganti di lain hari. Maka pernyataan si penerima-lah yang dibenarkan, karena menurut hukum ashal adalah si penerima terbebas dari segala bentuk tanggung jawab
Jika dua orang bersengketa mengenai biaya ganti rugi atas barang yang dirusakkan, di mana kewajiban ganti rugi itu dibebankan kepada orang yang merusak barang itu, semisal; si peminjam (dan orang yang meminjami). Maka pernyataan yang dibenarkan adalah pernyataan dari orang yang meminjami, karena menurut hukum ashal adalah orang yang meminjami tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada barang tersebut sesudah dia meminjamkannya kepada si peminjam.

Qa’idah Ke-9
أَلْأَصْلُ أَلْعَدَمُ
Hukum Asal Dari Segala Sesuatu Adalah Tidak Ada

Contoh:
Pihak yang bekerja dalam akad qiradh (bagi hasil) berkata; "Saya tidak memperoleh keuntungan". Maka perkataan ini dibenarkan, karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya keuntungan
Pihak yang bekerja dalam akad qiradh (bagi hasil) berkata; "Saya hanya memperoleh keuntungan sekian saja". Maka perkataan ini dibenarkan, karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya keuntungan lebih
Seseorang berkata : "Tidak seorangpun bisa melarangku untuk membeli barang itu", maka pernyataan ini dibenarkan, karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya larangan apapun
Seseorang makan makanan orang lain, kemudian dia berkata kepada si pemilik makanan: "Engkau telah memberikan makanan ini kepadaku", kemudian si pemilik makanan itu mengingkari pernyataan tersebut, maka pernyataan si pemilik makanan-lah yang dibenarkan, karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya kebolehan memakan makanan orang lain
Seseorang mempunyai tanggungan hutang berdasarkan pengakuannya sendiri atau melalui bai'at/sumpah, kemudian dia mengaku bahwa hutangnya sudah dia lunasi atau dia mengaku bahwa si pemiutang sudah membebaskan hutangnya. Maka penyataan yang dianggap benar adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh si pemiutang, karena menurut hukum ashal adalah belum adanya pelunasan hutang
Seseorang ragu jika dia telah meninggalkan rukun yang diperintahkan untuk dikerjakan dalam shalat, semisal; tahiyyat awal, maka orang itu hendaknya melakukan sujud sahwi. Sedangkan jika dia ragu telah melakukan sesuatu yang dilarang selama shalat, semisal sujud lebih dari dua kali, maka dia tidak perlu sujud sahwi, karena menurut hukum ashal adalah tidak adanya pelaksanaan sujud lebih dari dua kali.






Qa’idah Ke-10
أَلْأَصْلُ فِيْ كُلِّ حَادِثٍ ، تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
Hukum Asal Dalam Setiap Peristiwa Adalah Mengacu Pada Waktu Yang Terdekat
Contoh:
Seseorang memukul perut ibu hamil, kemudian lahirlah bayi dalam keadaan hidup. Bayi itu tidak mengalami sakit apapun dalam beberapa waktu, akan tetapi bayi itu kemudian meninggal dunia, maka orang yang memukul tadi tidak diwajibkan memberikan ganti rugi, karena secara lahiriyah, bayi itu meninggal dunia disebabkan oleh faktor lain yang masanya lebih dekat dari pada masa peristiwa pemukulan perut di atas
Seseorang membeli budak, kemudian budak itu jatuh sakit dan meninggal dunia, maka orang itu tidak diperkenankan untuk mengembalikan si budak kepada si penjual, karena sakit yang diderita oleh si budak tadi bertambah parah. Sehingga yang menyebabkan kematian si budak adalah bertambah parahnya penyakit yang dia derita, bukan disebabkan oleh penyakit yang pertama kali dia derita
Seseorang melihat bercak mani pada pakaiannya, akan tetapi dia tidak ingat kapan dia mimpi basah, maka orang itu wajib mandi besar dan wajib mengulangi seluruh shalat yang dia laksanakan setelah tidurnya yang terakhir kali, karena itulah yang paling dekat masanya
Seseorang berwudhu' dari air sumur serta melaksanakan shalat, kemudian suatu hari dia menemukan bangkai tikus di sumur tadi, maka dia tidak wajib melakukan qadha' shalat, selain shalat-shalat yang dia yakini dikerjakan dengan memakai wudhu' dari air sumur yang terkena najis bangkai tikus tadi
Apabila seseorang membuka sangkar burung, dan burung yang di dalamnya langsung terbang saat itu juga, maka orang itu wajib memberikan ganti rugi. Sedangkan jika burung itu diam beberapa saat, kemudian baru terbang keluar dari sarangnya, maka orang itu tidak wajib memberi ganti rugi atas lepasnya burung tersebut. Akan tetapi menurut satu pendapat, orang itu tetap wajib memberi ganti rugi, karena terbukanya sangkar adalah penyebab utama lepasnya burung itu.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah : 185
       
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Qa'idah Ke-11
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرِ
Kesulitan Bisa Menarik Adanya Kemudahan
Contoh:
Jika seseorang sulit berdiri ketika menjalankan shalat fardhu, maka dia diperkenankan untuk shalat dengan duduk. Dan jika dia sulit menjalankan shalat fardhu dengan duduk, maka diperkenankan untuk shalat dengan berbaring
Jika seseorang kesulitan untuk menggunakan air (untuk wudhu' maupun mandi besar), maka dia diperkenankan untuk melakukan tayammum
Jika seseorang sulit untuk menjaga diri dari najis, maka najis itu akan dima'fu. Misalnya; darah yang berasal dari luka, bisul, lumpur di jalan, maupun bekas najis yang sulit untuk dihilangkan
Imam Syafi'i RA berpendapat bahwasanya wanita yang tidak mempunyai wali ketika dalam perjalanan, maka wanita itu diperkenankan untuk memberi kuasa (sebagai wali) terhadap setiap urusannya kepada laki-laki yang berhak
Imam Syafi'i RA juga berpendapat: Diperkenankan untuk berwudhu' dengan menggunakan air yang berasal dari wadah yang terbuat dari kotoran binatang
Ada pernyataan Imam Syafi'i RA yang selaras dengan qo'idah ini, yaitu ;
أَلْأَمْرُ إِذَا ضَاقَ إتَّسَعَ
Ketika Suatu Perkara Sudah Sempit, Maka Perkara Itu Akan Menjadi Leluasa
Sebagian ulama' berkata:
أَلْأَشْيَاءُ إذَا ضَاقَتْ إِتَّسَعَ
"Ketika Sesuatu Itu Sempit, Maka Perkara Itu Akan Menjadi Leluasa"

Faidah
Keringanan di dalam Syari'at Islam ada 7 macam, yaitu:
1)Keringanan yang bersifat menggugurkan (تخفيف إسقاط). Contoh; gugurnya kewajiban menunaikan shalat jum'at, haji, dan umroh ketika ada udzur syar'i
2)Keringanan yang bersifat memperpendek (تخفيف تنقيص). Contoh; shalat qashar
3)Keringanan yang bersifat mengganti (تخفيف إبدال). Contoh; mengganti wudhu' dan mandi besar dengan tayammum. Berdiri dalam shalat (fardhu) boleh diganti dengan duduk, berbaring, atau berisyarah saja, dan kewajiban puasa diganti dengan (kewajiban) memberi makanan (fidyah)
4)Keringanan yang bersifat mendahulukan (تخفيف تقديم). Contoh; jamak taqdim, mendahulukan pembayaran zakat sebelum mencapai haul (satu tahun), mendahulukan pembayaran zakat fitrah pada bulan Ramadhan, dan membayar kifarat atas pelanggaran sumpah
5)Keringanan yang bersifat mengakhirkan (تخفيف تأخير). Contoh; jamak ta'khir, mengakhirkan (kewajiban) puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan bepergian. Mengakhirkan shalat bagi orang yang harus menyelamatkan orang yang akan tenggelam atau udzur-udzur lainnya
6)Keringanan yang bersifat sebagai kemurahan (تخفيف ترخيص). Contoh; shalat bagi orang yang beristinja' dan masih tersisa kotorannya, meminum khamr bagi orang yang tersedak, dan mengkonsumsi benda najis untuk tujuan pengobatan
7)Keringanan yang bersifat merubah (تخفيف تغيير). Contoh; shalat khauf (shalat pada saat peperangan berkecamuk) yang merubah tata cara shalat yang telah ada.


Qa'idah Ke-12
اَلْأَشْيَاءُ إِذَا اِتَّسَعَتْ ضَاقَتْ
Ketika Suatu Perkara Bersifat Leluasa, Maka Perkara Itu Akan Menjadi Sempit

Contoh:
Sedikit gerakan (yang bukan rukun shalat) yang dilakukan dengan terpaksa ketika menjalankan shalat adalah diperbolehkan. Akan tetapi banyak gerakan tanpa ada kepentingan (hajat) adalah tidak diperbolehkan dalam shalat
Jika air berubah disebabkan oleh lumut, hukumnya adalah suci, akan tetapi apabila ada orang yang memeras lumut tersebut kemudian membuangnya ke dalam air, kemudian air itu berubah sebab lumut itu, maka air dihukumi tidak suci
Jika ada bangkai hewan yang tidak mempunyai pembuluh darah terbuka jatuh pada air, maka air itu menjadi tidak suci.
Imam Al-Ghozali RA menyatukan dua qo'idah di atas dengan pernyataannya sebagai berikut;
كُلُّ مَا تَجَوَّزَ حَدَّهُ ، إِنْعَكَسَ إلَى ضِدِّهِ
Setiap Perkara Yang Sudah Melewati Batasannya, Maka Hukum Perkara Itu Akan Berkebalikan Dengan Hukum Sebelumnya

Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak diperkenankan membahayakan diri sendiri maupun orang lain" (HR. Malik dan Ibnu Majah)


Qa'idah Ke-13
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Bahaya Harus Dihilangkan

Contoh:
Pembeli diperkenankan melakukan khiyar karena adanya cacat secara jelas pada barang dagangan yang sudah dia beli
Pria dan wanita diperkenankan untuk membatalkan pernikahan disebabkan adanya cacat pada pasangannya
Seorang istri boleh membatalkan pernikahan karena suaminya tidak mampu menafkahinya
Disyari'atkannya bagian bagi budak wanita (amat), melunasi hutang, mencegah pencuri, qishash dan kewajiban mengganti bagi orang yang merusak hak milik orang lain.




Qa'idah Ke-14
اَلضَّرَرُ لاَ يُزَالُ باِلضَّرَرِ
Bayaha Tidak Boleh Dihilangkan Dengan Bahaya Yang Lain

Karena seandainya saja bahaya boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain, niscaya qo'idah ke-13 di atas, dianggap tidak benar.
Contoh:
Orang yang sangat kelaparan (terpaksa) dilarang makan makanan milik orang yang senasib dengannya. Begitu juga tidak boleh membunuh anak maupun budak, disebabkan kelaparan
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Apabila ada uang dinar jatuh ke tempat tinta, dan dinar itu tidak bisa diambil kecuali dengan cara memecahkan tempat tinta tadi, maka si pemilik dinar boleh memecahkan tempat tinta itu, akan tetapi dia harus memberi ganti rugi. Sedangkan jika dinar tersebut kepunyaan si pemilik tempat tinta itu sendiri, maka tidak ada kewajiban apapun baginya

Qa'idah Ke-15
اَلضَّـرُوْرَاتُ تُبِيْـحُ الْمَحْـظُـوْرَاتَ
Dharurat Bisa Membolehkan Perkara-Perkara Yang Terlarang

Contoh:
Diperkenankan untuk makan bangkai dan daging babi ketika sedang sangat kelaparan (kalau tidak makan bangkai itu dia akan mati), dan diperkenankan untuk meneguk arak ketika seseorang tersedak (dan tidak ada minuman lain di sekitarnya)
Diperkenankan untuk menyatakan diri sebagai orang kafir apabila dipaksa
Diperkenankan untuk mengambil harta milik orang lain tanpa seidzinnya, sebagai pelunasan hutang dari orang lain tadi
Jika perkara haram sudah menyebar luas, sekira hanya ada sedikit sekali perkara yang halal, maka seseorang boleh menggunakan barang apapun yang sangat dia butuhkan
Diperkenankan untuk menggali kembali kuburan jenazah disebabkan ada dharurat, misalnya; jenazah tersebut dikubur dengan tanpa dimandikan terlebih dahulu atau jenazah tidak dihadapkan ke arah kiblat.
Sedangkan qo'idah yang selaras dengan qo'idah ini adalah;
لاَ حَـرَمَ مَعَ الضَّـرُوْرَةِ وَلاَ كَـرَاهَةَ مَـعَ الْحَاجَـةِ
"Tidak Ada Hukum Haram Ketika Ada Dharurat, Dan Tidak Ada Hukum Makruh Ketika Ada Hajat"




Qa'idah Ke-16
مَا أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Sesuatu Yang Diperbolehkan Sebab Dharurat, Harus Disesuaikan Dengan Kadarnya
Contoh:
Orang yang dalam keadaan terpaksa tidak boleh makan makanan haram kecuali sekedar untuk menyambung nyawa saja
Barang siapa dimintai pendapat dalam masalah pinangan, dan dia sudah cukup menggunakan bahasa kinayah saja, misalnya: “Dia tidak cocok denganmu”, maka orang itu tidak boleh menjelaskan secara detail. Begitu juga jika seseorang sudah cukup dengan satu orang saja, dia tidak perlu mencari orang kedua, dst.
Jika ada seorang laki-laki ada keperluan dengan wanita yang bukan mahramnya (misalnya: mengobati, menyuntik, dll.), maka dia harus menutupi seluruh lengannya dan tidak membuka bagian tubuh yang lain, kecuali bagian tubuh yang benar-benar diperlukan
Tidak boleh menikahkan orang gila dengan wanita lebih dari satu demi menghindari dampak buruk yang kemungkinan menimpa si istri
Jika jama’ah shalat jum’at boleh dilaksanakan lebih dari satu tempat, maka tidak boleh mengadakan jama’ah shalat jum’at melebihi kebutuhan. Misalnya; shalat jum’at cukup dilaksanakan di dua tempat, maka tidak boleh mendirikan shalat pada tiga tempat.

Qa'idah Ke-17
اَلْحَاجَةُ قَدْ تَنْزُلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
Kebutuhan (Yang Mendesak) Terkadang Disamakan Posisinya Dengan Dharurat
Contoh:
Disyari’atkannya akad Ji’alah (sayembara) dan Hiwalah (pengalihan hutang) yang bertentangan dengan Qiyas, karena tidak adanya kejelasan dalam akad Ji’alah, dan adanya pengalihan satu hutang kepada hutang yang lain di dalam akad Hiwalah. Kedua akad ini diperbolehkan karena memang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum
Boleh melihat wanita yang bukan mahramnya demi alasan bermu’amalah maupun ingin meminangnya
Pendapat sebagian ulama’ yang memperkenankan akad muzara’ah dn mukhabarah karena keduanya memang dibutuhkan dalam perekonomian masyarakat
Menurut sebagian ulama’, boleh menjual sesuatu yang tersimpan di dalam tanah, misalnya: buah bengkoang, lobak dan bawang merah, demi kemashlahatan umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Seandainya dalam jual beli tadi disyaratkan harus diperlihatkan dulu dengan mengeluarkan tanaman tersebut dari dalam tanah, niscaya hal itu akan memberatkan dan bisa merusak tanaman itu. Begitu juga jika seseorang tidak boleh menjual jenis tanaman di atas kecuali menjualnya satu persatu, tentu hal itu akan sangat memberatkan dan menunda-nunda kemashlahatan yang akan diperoleh oleh si pemilik tanaman maupun orang yang membelinya. Adanya persyaratan yang demikian itu sama sekali tidak diwajibkan dalam Syari’at Islam dan sama sekali tidak membawa kemashlatan pada masyarakat.


Qa'idah Ke-18
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Jika Ada Dua Mafsadat Yang Bertentangan, Maka Yang Lebih Diperhatikan Adalah Perkara Yang Paling Besar Bahayanya Dengan Menjalankan Perkara Yang Lebih Sedikit Bahayanya
Contoh:
Boleh membelah perut jenazah jika di dalam rahimnya ada janin yang kemungkinan besar masih hidup
Tidak boleh minum khamr maupun berjudi karena bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya
Disyari’atkannya hukum qishash, sanksi pidana maupun kebolehan membunuh para perampok
Orang yang terpaksa boleh mengambil makanan orang lain secara paksa
Boleh memotong tanaman milik orang lain agar rumahnya memperoleh sinar matahari
Jika orang yang terpaksa menemukan bangkai dan makanan orang lain, menurut qaul yang ashah bahwa yang paling utama dia lakukan adalah makan bangkai, karena bangkai dihalalkan bagi orang yang terpaksa berdasarkan dalil nash, sedangkan kebolehan memakan harta orang lain adalah berdasarkan ijtihad.

Qa'idah Ke-19
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindari Kerusakan Lebih Diutamakan Dari Pada Menarik Kemashlahatan
Contoh:
Berlebih-lebihan dalam berkumur dan istinsyaq adalah sunnah, namun makruh bagi orang yang berpuasa demi menjaga keabsahan puasanya agar tidak batal
Menyiangi rambut itu sunnah ketika bersuci, namun makruh bagi orang yang sedang ihram demi menjaga agar rambutnya tidak gugur
Diperkenankan untuk meninggalkan sebagian dari kewajiban yang bisa mendatangkan kesulitan, misalnya; berdiri ketika shalat, tidak berpuasa maupun tidak melakukan thaharah. Namun tidak ada toleransi bagi seseorang untuk melakukan perkara-perkara yang dilarang, terutama dosa-dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mukminun : 5-7
                       
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik (selain) itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Qa'idah Ke-20
أَلْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ اَلتَّحْرِيْمُ
Hukum Ashal Dalam Masalah Sex Adalah Haram

Contoh:
Jika wanita-wanita yang menjadi mahram seorang pria bercampur-baur dengan wanita-wanita yang jumlahnya terbatas (bisa dihitung) dalam suatu desa, maka pria tadi tidak boleh berijtihad (untuk mencari wanita yang ingin dia nikahi), karena di antara syarat melakukan ijtihad terhadap sesuatu adalah sesuatu itu pada dasarnya (menurut hukum ashalnya) adalah mubah, sehingga hukum ashal itu nantinya akan memperkuat hasil ijtihadnya. Akan tetapi di diperkenankan untuk menikahi wanita dalam desa tersebut jika jumlahnya tidak terbatas (sangat banyak), hal ini dimaksudkan agar pintu pernikahan tidak tertutup dan agar pintu perzinahan tidak terbuka lebar-lebar
Jika ada seseorang mewakilkan pembelian budak wanita kepada orang lain berdasarkan sifat-sifat yang sudah dijelaskan. Kemudian si wakil membeli seorang budak wanita yang sesuai dengan sifat yang dikehendaki oleh orang yang mengutusnya. Namun si wakil mendadak meninggal dunia sebelum sempat menyerahkan budak itu kepada muwakkil (orang yang mewakilkan urusannya), maka si muwakkil tidak halal berhubungan badan dengan si budak wanita tadi karena ada kemungkinan si wakil membeli budak itu untuk dirinya sendiri. Meskipun si wakil jelas-jelas membeli budak sesuai dengan sifat-sifat yang diinginkan oleh si muwakkil, namun menurut hukum ashal adalah haramnya berhubungan intim dengan budak itu sampai ada kejelasan yang membuat si muwakkil benar-benar yakin kalau si budak itu halal baginya
Tidak halal berhubungan badan dengan wanita yang menjadi tahanan perang kecuali sudah ada penjelasan dari pimpinan tentang siapa yang berhak memperoleh wanita tersebut dan pembagian yang dilakukan tanpa disertai rasa takut (karena diintimidasi) maupun sikap aniaya.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-A’raaf : 199
       
Jadilah engkau seorang pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Yang dimaksud ma’ruf di sini adalah sesuai dengan adat.

Qa'idah Ke-21
اَلْعَادَةُ الْمُحَكَّمَةُ
Adat Bisa Dijadikan Sebagai Hukum
Contoh:
Seseorang berjualan dengan menggunakan mata uang Bani Thayyi', kemudian si penjual itu memutlakkan mata uang apapun boleh dipakai (untuk membeli barang dagangannya), maka dalam hal ini yang berlaku adalah mata uang yang berlaku di masyarakat pada umumnya
Jika pada umumnya mu'amalah menggunakan barang dagangan yang najis atau sejenisnya, maka transaksi boleh dilakukan sebagaimana permasalahan mata uang pada contoh di atas
Masuk tempat pemandian umum dan makan makanan yang dihidangkan sebagai jamuan bagi para tamu (pengunjung) dengan tanpa meminta izin terlebih dulu, hukumnya dikembalikan pada adat kebiasaan yang berlaku, apakah makanan itu gratis atau harus membayar
Standar usia wanita mengalami haidh dan standar ukuran waktu minimal, maksimal dan waktu kebiasaan haidh juga dikembalikan pada adat kebiasaan ('urf)
Boleh memperkerjakan orang untuk menjahit dan menenun pakaian. Pendapat ini dianggap shahih oleh Imam Ar-Rofi'iy. Sedangkan prosedurnya dikembalikan pada adat kebiasaan yang berlaku.
Ketahuilah! Bahwasanya suatu kebiasaan bisa disebut sebagai adat ('urf), jika sedang berlaku secara umum, sedangkan jika kebiasaan itu tidak berlaku secara umum (tidak menentu atau berlaku pada golongan tertentu saja), maka tidak perlu ada penjelasan lagi.

Qa'idah Ke-22
مَا وَرَدَ بِهِ اَلشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ فِي اللُّغَةِ يُرْجَعُ إِلَى الْمَعْرُوْفِ
Perkara Yang Berasal Dari Syara’ Secara Muthlaq & Tidak Ada Batasannya Di Dalam Syara’ Maupun Di Dalam Bahasa, Maka Perkara Itu Dikembalikan Pada 'Urf (Kebiasaan Umum)

Contoh:
Dalam niat shalat cukup membersamakan niat (antara niat di dalam hati dengan pelafalan niat melalui lisan) sesuai dengan standar kebiasaan, sekiranya sudah dianggap telah menghadirkan niat melakukan shalat
Standar suatu tempat bisa dianggap sebagai tempat yang layak untuk digunakan sebagai tempat penyimpanan harta adalah disesuaikan dengan kebiasaan umum ('urf), karena di antara syarat hukum potong tangan di dalam masalah pencurian adalah barang yang dicuri berada di tempat yang terjaga. Begitu juga standar ukuran waktu dalam kaitannya dengan masalah tafarruq (perpisahan antara penjual dan pembeli) dan penerimaan (barang yang dibeli) adalah disesuaikan dengan 'urf (kebiasaan umum yang berlaku)
Diperbolehkannya jual beli mu’athah (jual beli tanpa disertai akad ijab-qabul secara lafdziyah). Dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kebiasaan umum yang berlaku ('urf). Demikian ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawy RA, dan merupakan pendapat yang mu'tamad (bisa dijadikan pegangan)







Qa'idah Ke-23
اَلْإِجْتِهَادُ لاَ يَنْقُضُ بِالْإِجْتِهَادِ
Ijtihad Tidak Bisa Dibatalkan Oleh Hasil Ijtihad Yang Lain
Karena ijtihad yang kedua tidak lebih kuat dari ijtihad yang pertama (sama-sama bersifat dzanny)

Contoh:
Jika ijtihad seseorang dalam menentukan qiblat berubah dari semula, maka dia boleh shalat dengan menggunakan ijtihad yang kedua dan dia tidak wajib mengqadha’ shalatnya yang pertama. Bahkan seandainya dia shalat 4 rok’at dengan menghadap empat arah qiblat pun, dia tidak wajib mengqadha’ shalatnya
Jika seorang hakim sudah memutuskan hukum pada sesuatu, kemudian ijtihadnya berubah, maka ijtihad yang kedua tidak bisa membatalkan hasil ijtihad yang pertama
Jika seorang suami menjatuhkan khulu' tiga kepada istri (khulu' adalah istri minta cerai kepada suami dengan disertai kompensasi dari istri untuk suami), kemudian sang suami menikahi si istri tadi tanpa ada suami lain yang menyelinginya, karena keyakinan sang suami bahwa khulu’ itu termasuk fasakh, bukan termasuk thalaq (sehingga tidak perlu ada suami lain yang menyelinginya). Lalu keyakinannya itu berubah pada pemahaman bahwa khulu’ itu termasuk thalaq, maka dia boleh tetap mempertahankan rumah tangganya dengan istri hasil pernikahan tadi. Imam Ghozali RA berkata: Jika seorang hakim sudah memberi keputusan hukum dengan benar (menurut hasil ijtihadnya), maka dia tidak wajib meninggalkan keputusan itu, meskipun hasil ijtihadnya berubah, karena jika dia meninggalkan keputusan hukum yang sudah dia putuskan, berarti akan terjadi perubahan-perubahan hukum yang terus-menerus pada kasus-kasus selanjutnya. Sedangkan jika si hakim belum memberi keputusan hukum, maka di sini ada beberapa pendapat. Menurut pendapat yang terpilih (Mukhtar) adalah wajib meninggalkan hasil ijtihad yang pertama (dan beralih pada hasil ijtihad yang kedua), karena jika dia tetap berpegang teguh pada hasil ijtihad yang bertama, berarti dia telah melakukan suatu perbuatan yang haram berdasarkan keyakinannya (hasil ijtihadnya) yang kedua.

Peringatan !
Makna qa'idah ini adalah suatu ijtihad tidak bisa membatalkan hasil ijtihad di masa lalu, akan tetapi harus ada perubahan keputusan hukum pada kasus-kasus selanjutnya, karena pada saat itu sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap mengunggulkan hasil keputusan ijtihad yang pertama. Oleh karena itu, hasil ijtihad yang kedua ini diterapkan pada kasus-kasus selanjutnya, namun tidak bisa membatalkan keputusan hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah : 148
                      
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Qa'idah Ke-24
اَلْإِيْثَارُ بِالْعِبَادَةِ مَمْنُوْعٌ
Memprioritaskan Orang Lain Dalam Ibadah Adalah Dilarang

Contoh:
Memprioritaskan orang lain untuk memperoleh shaf yang pertama
Memprioritaskan orang lain untuk memperoleh air untuk bersuci maupun pakaian untuk menutup aurat
Memprioritaskan orang lain untuk menjadi ganti dirinya dalam membaca pelajaran
Memprioritaskan orang lain untuk memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan. Misalnya; memberi makan orang miskin dan akan yatim.
Allah SWT Berfirman dalam Surat Al-Hasyr : 9
                                
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.

Qa'idah Ke-25
اَلْإِيْثَارُ بِغَيْرِ الْعِبَادَةِ مَطْلُوْبٌ
Memprioritaskan Orang Lain Pada Selain Ibadah Adalah Dianjurkan

Contoh:
Memprioritaskan orang lain dalam masalah tempat
Memprioritaskan orang lain dalam masalah pakaian
Memprioritaskan orang lain dalam masalah makanan
Tidak mengambil harta shadaqah demi memberi kesempatan orang lain untuk mengambilnya
Tidak berdagang barang dagangan yang kemungkinan besar bisa mendatangkan laba demi memberi kesempatan orang lain untuk memperoleh laba dari barang yang serupa







Nabi Muhammad SAW bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang ia pimpin”

Qa'idah Ke-26
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Kebijakan Pemerintah Terhadap Rakyatnya Adalah Berdasarkan Kemashlahatan

Contoh:
Di dalam pembagian zakat kepada mustahiq zakat, Pemerintah haram melebihkan bagian pada sebagian golongan ketika mereka sama-sama membutuhkan
Pemerintah tidak boleh mengangkat imam shalat yang fasiq, meskipun kita sah shalat (makmum) di belakangnya, karena shalat yang demikian itu hukumnya makruh
Pemerintah tidak boleh memberikan harta Baitul Maal kepada orang yang tidak membutuhkan, namun mengabaikan orang yang membutuhkan.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
اَدْرَءُوْا الْحُدُوْدَ بِالشُّبُهَاتِ
Cegahlah (pelaksanaan) hukum-hukum had (pidana),sebab adanya ketidak-jelasan.
(HR. Ibnu 'Addiy dari Ibnu 'Abbas RA)

Qa'idah Ke-27
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبْهَاتِ
Perkara Pidana Bisa Gugur Sebab Adanya Kesyubhatan (Ketidak-jelasan)

Contoh:
Barang siapa berhubungan badan dengan wanita lain yang disangka sebagai istrinya, maka tiada hukum had (hukum pidana) baginya
Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang menurut satu kaum dianggap halal, dan menurut kaum yang lain dianggap haram, misalnya; nikah mut’ah, nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, dan setiap pernikahan yang hukumnya masih diperselisihkan oleh para ulama’. Mereka ini tidak bisa dikenai hukum had
Barang siapa mencuri sesuatu yang dianggap sebagai hak miliknya atau milik orang tuanya atau milik anaknya, maka dia tidak terkena had, karena adanya kesamaran hak kepemilikan harta itu
Orang yang minum khamr sebagai pengobatan. Meskipun menurut qaul yang ashah hal itu termasuk haram, namun hal itu tidak mendatangkan had bagi pelakunya karena hukumnya masih diperselisihkan oleh para ulama’.

Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imron : 102
            
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Qa'idah Ke-28
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاًَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sesuatu Yang Menjadi Penyempurna Perkara Wajib Merupakan Perkara Yang Wajib
Contoh:
Wajib membasuh bagian dari leher dan kepala ketika sedang membasuh wajah (dalam wudhu')
Wajib membasuh bagian dari lengan ketika membasuh tangan, dan wajib membasuh bagian dari betis ketika membasuh kaki
Wajib menutup bagian dari lutut karena termasuk aurat, dan wajib menutup bagian dari wajah yang dekat dengan kepala karena termasuk aurat bagi wanita.

Rasulullah SAW pernah bersabda:
فَمَنِ اتَّقَى مِنَ الشُّبْهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
Barang siapa menjauhi syubhat, maka sungguh dia telah membebaskan agama dan harga dirinya. (HR. Bukari-Muslim)

Qa'idah Ke-29
اَلْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ
Keluar Dari Perbedaan (Pendapat) Adalah Sunnah
Contoh:
Sunnah menggosok anggota badan ketika bersuci (wudhu’ ataupun mandi besar) dan meratakan air ke seluruh bagian kepala dengan cara mengusap agar tidak menyalahi pendapat Imam Malik RA yang mewajibkan semua itu
Sunnah membasuh air mani, karena Imam Malik RA menyatakan bahwa hal itu hukumnya wajib
Sunnah mengqashar shalat dalam perjaalanan yang mencapai 3 marhalah agar tidak bertentangan dengan pendapat Imam Hanafi RA yang mewajibkan hal itu
Tidak menghadap qiblat maupun membelakanginya (ketika sedang buang hajat), meskipun berada di tempat yang tertutup, agar tidak bertentangan dengan pendapat Imam Sufyan Ats-Tsaury RA yang melarang perbuatan tersebut
Makruh shalat sendirian di belakang shaf agar tidak bertentangan dengan pendapat Imam Ahmad ibnu Hanbal RA yang menyatakan perbuatan itu bisa membatalkan shalat
Makruh mufaraqah (memisahkan diri) dari Imam dengan tanpa udzur agar tidak bertentangan dengan pendapat Imam Daud Adz-Dzahiri RA yang menyatakan perbuatan itu bisa menyebabkan batalnya shalat
Peringatan!
Di dalam kaitannya dengan "keluar dari khilaf" (baca: menyalahi pendapat ulama' tertentu) ini terdapat beberapa syarat:
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu karena ingin keluar dari khilaf (menyalahi pendapat ulama' tertentu), maka dia tidak boleh terjerumus pada khilaf (menyalahi pendapat ulama') yang lain. Dari sini bisa diketahui bahwa memisah roka'at witir adalah lebih utama dari pada menyambung shalat witir (misalnya dalam kasus shalat witir 3 roka'at). Seseorang tidak perlu menyambung witir semata-mata agar tidak menyalahi pendapat Imam Hanafi RA, karena di antara para ulama, ada ulama' yang tidak memperbolehkan menyambung shalat witir
Tindakan ingin keluar dari khilaf tidak boleh bertentangan dengan sunnah yang sudah valid (berlaku). Dari sini bisa dipahami bahwasanya disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan di dalam shalat, dan tidak perlu memperdulikan pendapat ulama' Hanafiyah yang menyatakan batalnya shalat yang dilakukan dengan cara mengangkat kedua tangan. Alasanya; karena kesunahan mengangakat kedua tangan di dalam shalat adalah berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW dengan diriwayatkan oleh sekitar 50 Shahabat RA
Pendapat-pendapat yang menjadi sumber khilaf (perbedaan pendapat) haruslah kokoh (bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya), dan bukan sekedar pendapat yang tersalah (lemah). Oleh karena itu, berpuasa ketika dalam perjalanan musafir adalah lebih utama bagi orang yang kuat menjalankannya, dan dia tidak perlu memperdulikan pendapat sebagian ulama' Madzhab Dzahiriyah yang menyatakan puasa orang seperti itu dinilai tidak sah.
وَلَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا # إِلاَّ خِلاَفٌ لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ
Tidak semua khilaf (pendapat-pendapat ulama) berstatus mu'tabar (bisa dijadikan pedoman), kecuali khilaf yang mempunyai dasar argumentasi (yang bisa dipertanggung-jawabkan)

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah : 173
                           
Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.








Qa'idah Ke-30
اَلرُّخَصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِي
Kemurahan Tidak Berhubungan Dengan Kemaksiatan

Contoh:
Orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat tidak memperoleh keringanan sama sekali, baik qashar, jamak maupun boleh tidak berpuasa wajib
Orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan maksiat tidak boleh makan bangkai ataupun daging babi meskipun dalam keadaan terpaksa
Jika seseorang beristinja’ dengan menggunakan benda-benda yang dimulyakan atau dengan menggunakan makanan, maka menurut qaul yang ashah, istinja’-nya belum sempurna, karena istinja’ dengan batu merupakan keringanan. Demikian juga tidak dianggap cukup istinja' dengan menggunakan benda-benda yang sejenis, yakni benda padat yang bisa menghilangkan kotoran namun termasuk benda yang dimulyakan.

Qa'idah Ke-31
اَلرُّخَصُ لاَ تُنَاطُ بِالشَّكّ
Kemurahan Tidak Berhubungan Dengan Keraguan

Contoh:
Wajib membasuh kaki bagi orang yang masih meragukan kebolehan mengusap muzah baginya (NB: Yang dimaksud dengan mengusap muzah adalah seseorang diperbolehkan wudhu' dengan tanpa membasuh kedua kakinya, melainkan cukup dengan mengusap muzah yang dia pakai. Namun dalam hal ini harus memenuhi syarat-syarat yang bisa dilihat pada kitab-kitab fiqih)
Wajib mengerjakan shalat secara sempurna bagi orang yang ragu-ragu diperbolehkan qashar baginya.
Dalam contoh-contoh ini masih bisa diperjelas lagi, yaitu:
Jika seseorang ragu-ragu apakah dia mengusap muzah di rumah atau ketika dalam perjalanan musafir? Maka dalah hal ini dia dihukumi telah mengusap muzah di rumah, dan dia tidak boleh mengusap muzah ketika itu, karena pada dasarnya (menurut hukum ashal) yang diwajibkan adalah mengusap kedua kaki, sedangkan kebolehan mengusap muzah adalah rukhshah (keringanan) yang didasarkan pada syarat tertentu, dan jika seseorang belum yakin sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka hukumnya kembali pada hukum ashal, yaitu wajib membasuh kedua kaki (dalam wudhu').
Jika seseorang ragu-ragu apakah dia hadats pada waktu zhuhur atau ashar?, maka dia dihukumi berhadats pada waktu zhuhur. Karena berdasarkan hukum ashal, dia diwajibkan untuk membasuh kedua kakinya (dalam wudhu'), maka dia tidak diperkenankan untuk mengusap muzah (sebagai ganti membasuh kedua kaki), kecuali pada hal-hal yang sudah dia yakini
Jika seseorang ragu-ragu apakah dia takbiratul ihram untuk shalat di dalam perjalanan musafir ataukah untuk shalat di rumah? Atau apakah dia sudah niat qashar atau tidak? Atau apakah imam yang dia ikuti itu seorang musafir ataukah orang muqim?. Maka dalam kasus-kasus seperti ini, dia diharuskan untuk melakukan shalat secara sempurna (sebagaimana biasanya). Karena pada dasarnya (menurut hukum ashal) adalah diwajibkan shalat secara sempurna, sedangkan shalat qashar diperbolehkan dengan disertai syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tersebut belum terpenuhi, maka permasalahannya dikembalikan pada hukum ashal (yaitu shalat secara sempurna atau itmaam)









Nabi Muhammad SAW bersabda:
قَالَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَجْرُكِ عَلَى قَدْرِ نَصْبَكِ. رواه مسلم
Nabi SAW bersabda kepada 'Aisyah RA: Pahalamu adalah sesuai dengan apa yang engkau lakukan. (HR. Muslim)

Qa'idah Ke-32
مَا كَانَ أَكْثَرَ فِعْلاً، كَانَ أَكْثَرَ فَضْلاً
Sesuatu Yang Lebih Banyak Perbuatannya Adalah Lebih Banyak Keutamaannya

Contoh:
Memisahkan shalat witir adalah lebih utama dari pada menyambungnya, karena (jika memisah, akan) ada tambahan perbuatan berupa niat, takbiratul ihram dan salam.
Barang siapa shalt sunnah dengn duduk, maka pahalanya setengah dari pahala orang yang melakukannya dengan berdiri. Begitu juga orang yang shalat sunnah dengan terlentang, pahalanya setengah dari pahala orang yang melakukannya dengan duduk
Haji ifrad (melaksanakan haji saja) adalah lebih utama dari pada haji qiran (melaksakan haji dan umrah sekaligus).

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِِِِِِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Dan apapun yang aku perintahkan kepada kamu semua, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian.
(HR. Bukhari-Muslim)

Qa'idah Ke-33
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكَ كُلُّهُ
Sesuatu Yang Tidak Bisa Dilakukan Secara Keseluruhan, Tidak Boleh Ditinggalkan Semuanya

Contoh:
Barang siapa tidak mampu berbuat baik dengan uang satu dinar, dan dia mempunyai satu dirham, maka sebaiknya dia berbuat baik dengan uang dirham yang dia miliki
Barang siapa tidak mampu mengajar maupun mempelajari seluruh disiplin ilmu, maka dia tidak boleh meninggalkan semuanya
Barang siapa berat melaksanakan shalat malam sebanyak 10 roka’at, maka sebaiknya dia melakukan 4 roka’at saja.
Ada juga pendapat para ulama’ fiqih yang selaras dengan makna qa’idah ke-33 ini, yaitu:
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُدْرَكُ بَعْضُهُ
Sesuatu Yang Tidak Bisa Dilakukan Secara Keseluruhan, Maka Yang Tidak Dilakukan Sebagian Saja


Qa'idah Ke-34
اَلْمَيْسُوْرُ لاَ يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
Sesuatu Yang Mudah (Dikerjakan) Tidak Bisa Gugur Sebab Sesuatu Yang Menyulitkan

Contoh:
Jika sebagian anggota badan terpotong, maka tetap wajib membasuh anggota badan lain yang masih tersisa
Seseorang harus menutupi auratnya sesuai dengan kemampuannya
Barang siapa tidak mampu rukuk dan sujud, namun dia mampu berdiri, maka dia wajib berdiri (ketika shalat)
Barang siapa mempunyai (kelebihan) makanan pokok yang kurang dari ukuran zakat fitrah, yaitu 1 sho', maka dia tetap wajib mengeluarkan zakat fitrah
Barang siapa hanya mampu membaca sebagian Surat Fatihah, maka dia harus membaca bagian yang dia hafal itu
Barang siapa mempunyai harta yang sudah mencapi satu nishab, namun sebagian harta ada pada dirinya, sedangkan sebagian yang lain di tangan orang lain (ghaib), maka dia harus mengeluarkan zakat dari harta yang ada pada dirinya saat itu
Para ulama’ Irak menukil dari pendapat Imam Syafi'i RA bahwasanya orang yang bisu wajib menggerak-gerakkan lisannya, sebagai ganti dari melafalkan melalui lisan. Demikian juga wajib berisyarah melakukan rukuk atau sujud (bagi yang tidak mampu melakukannya)
Barang siapa menderita luka di tubuhnya yang tidak boleh terkena air, maka menurut pendapat Madzhab Imam Syafi'i RA adalah dia diwajibkan membasuh anggota tubuh yang sehat serta melakukan tayammum sebagai ganti dari anggota tubuh yang terluka tadi yang tidak boleh terkena air (baik dalam wudhu' maupun mandi besar)

Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imron : 104
               
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Qa'idah Ke-35
مَا حَرُمَ فِعْلُهُ حَرُمَ طَلَبُهُ
Perkara Yang Haram Digunakan, Berarti Haram Dicari

Contoh:
Mencari uang riba dan tarif PSK
Mencari uang hasil praktek perdukunan dan hasil suap
Mencari uang hasil gaji sebagai orang yang menangisi jenazah


Qa'idah Ke-36
مَا حَرُمَ أَخْذُهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ
Perkara Yang Haram Diambil, Berarti Haram Diberikan Kepada Orang Lain

Contoh:
Memberi uang hasil riba ataupun uang hasil perzinahan kepada orang lain
Memberi uang hasil praktek perdukunan ataupun uang hasil suap kepada orang lain
Memberi uang hasil kerja menangisi jenazah kepada orang lain

Allah SWT berfirman dalam Surat Yasiin:12
               
Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh).

Qa'idah Ke-37
اَلْخَيْرُ اَلْمُتَعَدِّي أَفْضَلُ مِنَ الْقَاصِرِ
Kebaikan Yang Manfaatnya Menyebar Adalah Lebih Baik Dari Pada Ibadah Yang Murni
Contoh:
Mengajar ilmu pengetahuan adalah lebih utama dari pada shalat sunnah
Orang yang melakukan amalan yang sifatnya fardhu kifayah adalah lebih istimewah dari pada orang yang melakukan amalan yang fardhu ‘ain, karena orang itu telah menggugurkan kewajiban umat Islam yang lainnya.
Imam As-Suyuthy membuat nadzam berkenaan dengan qo’idah di atas:
عَلَيْهِ مِنْ فِعَالٍ غُيْرُ عَشْرِ
إذَا مَاتَ ابْنُ أَدَمَ لَيْسَ يَجْرِيْ
Ketika manusia wafat, tiada amalan yang berguna baginya selain 10 amalan
وَغَرْسُ النَّخْلِ وَالصَّدَقَاتُ تَجْرِيْ
عُلُوْمٌ بَثَّهَا وَدُعَاءُ نَجْلٍ
Ilmu yang dia sebarkan, do’a yang ikhlas, menanam buah-buahan, Bersedekah,
وَحَفْرُ الْبِئْرِ أَوْ إِجْرَاءُ نَهْرٍ
وَارْثَةُ مُصْحَفٍ وَرِبَاطُ ثَغْرٍ
Mewariskan mushhaf Al-Qur’an, Mengunci mulut, Menggali sumur, Mengalirkan air sungai
إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلَّ ذِكْرٍ
وَبَيْتٌ لِلْغَرِيْبِ بَنَاهُ يَأْوِيْ
Membangun rumah persinggahan untuk musafir, Membangun rumah untuk majlis dzikir
فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيْثَ بِحَصْرٍ
وَتَعْلِيْمٌ لِقُرْأَنٍ كَرْيْمٍ
Belajar Al-Qur’an. Laksanakanlah 10 hal di atas yang disarikan dari Hadits-hadits secara ringkas
Nabi Muhamamad SAW bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَأْخُذَ عَصَا أَخِيْهِ بِغَيْرِ طَيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Orang muslim tidak boleh mengambil tongkat saudaranya tanpa ada kerelaan dari saudaranya tadi. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

Qa'idah Ke-38
اَلرِّضَى بِالشَّيْئِ رِضَى بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Rela Terhadap Suatu Perkara, Berarti Rela Terhadap Apapun Yang Berasal Dari Perkara Itu

Contoh:
Sepasang suami-istri rela terhadap cacat yang diderita oleh pasangannya, kemudian cacat itu menjadi semakin parah, maka menurut pendapat yang shahih, dia harus rela menerima itu dan tidak ada alasan baginya untuk menuntut cerai pada pasangannya
Orang yang menggadaikan hamba sahaya memperbolehkan perima gadai untuk memukul hamba sahayanya, kemudian hamba sahaya itu meninggal dunia sebab dipukul oleh si penerima gadai, maka dia tidak wajib mengganti, karena hamba sahaya tadi meninggal dunia disebabkan suatu hal (yakni memukul) yang sebelumnya sudah diizinkan oleh orang yang menggadaikan
Ada orang berkata kepada temannya: “Potonglah tanganku”. Lalu temannya mengabulkan permintaan itu, kemudian penyakit orang itu semakin parah dan menjalar ke seluruh tubuh, maka dia tidak boleh menuntut pada temannya yang telah memotong tangannya
Orang yang haji memakai wewangian sebelum ihram, lalu baunya masih melekat sampai dia selesai melakukan ihram, berarti dia tidak perlu mengeluarkan fidyah (yang menjadi kifarat bagi orang yang memakai wewangian ketika ihram)
Bagian yang sudah diistinja’i adalah dima’fu, meskipun kemudian bagian berkeringat dan menjadi basah, karena menurut hukum ashal, bagian itu sudah dima’fu.
Seseorang berkumur ataupun memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq) secara normal, lalu airnya terlanjur masuk ke dalam perutnya, maka puasanya tetap sah menurut qaul yang ashah. Namun jika dia berkumur atau istinsyaq dengan cara berlebih-lebihan yang dilarang oleh syari’at, maka puasanya batal.
Ada lagi qo’idah yang selaras maknanya dengan qoidah ke-38 ini, yaitu:
اَلْمُتَوَلَّدُ مِنْ مَأْذُوْنٍ فِيْهِ لاَ أَثَرَ لَهُ
Sesuatu yang berasal dari perkara yang sudah diizini tidak membawa pengaruh apapun







Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Setiap perkara yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram (HR. Muslim)
NB: Makna khamr secara bahasa adalah sesuatu yang bisa menutupi akal.

Qa'idah Ke-39
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Hukum Itu Bergantung Dengan Ada-Tidaknya Suatu ‘Illat

Contoh:
Khamr diharamkan karena memabukkan. Jika suatu saat khamr itu tidak memabukkan, maka hukumnya menjadi halal diminum
Seseorang masuk ke dalam rumah orang lain atau memakai pakaian orang lain adalah haram jika tidak memperoleh izin dari pemiliknya. Apabila orang tersebut yakin kalau si pemilik memperbolehkan dia untuk melakukan hal di atas, maka hukum masuk rumah ataupun menggunakan pakaian orang lain tadi menjadi boleh
Seseorang haram mengkonsumsi racun, karena mematikan. Jika ada racun yang tidak mematikan, maka halal mengkonsumsinya

Nabi Muhammad SAW bersabda:
اَلْحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ، وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عُفِيَ عَنْهُ ( رواه الترمذي وابن ماجه )
Perkara yang halal adalah perkara yang telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya. Perkara yang haram adalah perkara yang telah diharamkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya. Sedangkan perkara yang tidak disinggung di dalam kitab-Nya, berarti perkara itu dima’fu (boleh). (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Qa'idah Ke-40
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
Hukum Ashal Dalam Segala Sesuatu Adalah Boleh
Contoh:
Jika seseorang ragu mengenai binatang yang belum pernah dia ketahui sebelumnya, apakah binatang tersebut haram atau tidak (menurut Islam), berarti binatang tadi dihukumi boleh (berdasarkan hukum ashal)
Jikalau seseorang memasuki pemandian dalam suatu benteng, dan dia tidak tahu apakah dia boleh memasukinya atau tidak? dan dia juga ragu apakah pemandian itu dimiliki oleh orang lain atau tidak?, maka dia lebih berhak menggunakan pemandian itu dan memanfaatkannya
Jika seseorang ragu apakah ........ besar atau kecil, maka menurut ashal hukumnya adalah boleh
Menurut Imam As-Subky, binatang jerapah itu halal karena menurut hukum ashal, segala sesuatu adalah boleh